Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Arief Wibisono
Klikwarta.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara pengujian materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Selasa (4/11/2025). Sidang Perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, dengan didampingi para Hakim Konstitusi lainnya.
Agenda persidangan kali ini adalah mendengarkan keterangan Presiden (Pemerintah). Pemerintah dalam keterangan yang disampaikan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Arief Wibisono, mengatakan para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional atas berlakunya ketentuan Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Arief menjelaskan ketentuan tersebut tidak menghalangi hak konstitusional warga negara karena kepesertaan dalam dana pensiun bersifat sukarela, bukan kewajiban. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (1) UU P2SK yang menyebutkan bahwa karyawan berhak, bukan wajib, menjadi peserta dana pensiun.
“Tidak terdapat hubungan sebab-akibat langsung antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal-pasal yang diujikan, karena UU P2SK tidak menjadikan kepesertaan dalam dana pensiun sebagai hal yang mandatori, melainkan bersifat sukarela,” ujar Arief di hadapan majelis hakim.
Lebih lanjut, Pemerintah menjelaskan bahwa implementasi teknis mengenai pembayaran manfaat pensiun diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 27 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Usaha Dana Pensiun. Dengan demikian, apabila terdapat keberatan terhadap tata cara pembayaran manfaat pensiun, seharusnya keberatan tersebut ditujukan pada kebijakan pelaksanaan, bukan pada ketentuan undang-undang.
Penghasilan Berkesinambungan
Pemerintah juga menegaskan, tujuan utama program dana pensiun adalah menjaga kesinambungan penghasilan peserta di masa tua, sebagai bentuk perlindungan sosial negara terhadap risiko ekonomi di usia lanjut. Kebijakan pembayaran manfaat pensiun secara berkala dinilai lebih sejalan dengan prinsip negara kesejahteraan (welfare state) dan amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
“Pembayaran manfaat pensiun secara berkala bukan merupakan pembatasan hak, melainkan bentuk perlindungan agar peserta tetap memiliki penghasilan berkelanjutan setelah pensiun,” terang Arief.
Pemerintah juga menjelaskan bahwa pembatasan pembayaran manfaat pensiun secara sekaligus maksimal 20 persen merupakan kebijakan untuk menyeimbangkan kebutuhan peserta di awal masa pensiun dan perlindungan jangka panjang. Ketentuan tersebut justru dimaksudkan untuk menjaga stabilitas ekonomi peserta pensiun dan mencegah risiko habisnya dana secara cepat. Sehingga Pemerintah menilai apabila permohonan Pemohon dikabulkan, akan timbul ketidakpastian hukum serta melemahkan tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan ekonomi bagi pekerja pasca pensiun.
Arief menambahkan, sistem pensiun di Indonesia masih menghadapi tantangan, di mana rata-rata pendapatan pensiunan hanya berkisar 10–15 persen dari penghasilan saat produktif, jauh di bawah standar International Labour Organization (ILO) sebesar 40 persen. Oleh karena itu, pembayaran manfaat pensiun secara berkala dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan penghasilan peserta.
Kebijakan Hukum Terbuka
Lebih jauh, Pemerintah menegaskan bahwa pengaturan dana pensiun melalui POJK merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang bertujuan memperkuat sektor keuangan nasional. Mandat kepada OJK untuk mengatur pelaksanaan dana pensiun diharapkan dapat menyesuaikan kebijakan dengan dinamika industri jasa keuangan serta melindungi kepentingan peserta.
“Pengaturan ini merupakan bentuk penguatan sistem keuangan nasional yang berdaya tahan, inklusif, dan berkelanjutan, guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” tegasnya.
Pekerja Perbaiki Uji Pencairan Dana Pensiun dalam UU P2SK
DPR Jelaskan Pembayaran Manfaat Pensiun secara Berkala
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh delapan pekerja/pensiunan, yaitu Lukas Saleo, Warjito, Haeruddin Fallah, Achmad Yani, Nikolas Pamula Lambe, Ismet Akuba, Arfan Rasyid, dan Imam Budiyono. Mereka adalah para pekerja di PT Freeport Indonesia, pekerja dan mantan pekerja PT Kuala Pelabuhan Indonesia, dan pekerja di PT Unilever Indonesia. Para pemohon mempermasalahkan ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Kerugian yang dialami Para Pemohon bersifat nyata, spesifik, dan juga potensial. Pemohon I–VI dan Pemohon VIII yang masih bekerja berpotensi dirugikan karena tidak bisa mengambil manfaat pensiun secara sekaligus (lump sum) saat pensiun nanti. Sementara itu, Pemohon VII yang telah pensiun sejak 1 Desember 2024 sudah benar-benar dirugikan karena tidak menerima hak pensiun lump sum hingga saat ini.
Dalam persidangan perdana yang dilaksanakan di MK, Rabu (24/9/2025), kuasa hukum para Pemohon, Zen Mutowali menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara program jaminan pensiun publik yang bersifat wajib (mandatory) dengan dana pensiun swasta yang bersifat pelengkap (complement). Menurutnya, aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus.
“Keberlakuan objek Permohonan tersebut di atas merupakan aturan yang memiliki kesamaan substansi dan menyebabkan kerugian atau potensi kerugian hak konstitusional Para Pemohon karena Para Pemohon tidak mendapatkan manfaat pensiun secara sekaligus (lump sum) padahal manfaat pensiun tersebut bersifat tambahan (complement) yang sejak awal kepesertaan merupakan pilihan sukarela para Pemohon sebagai pekerja dan merupakan hak milik para Pemohon sebagai individu warga negara yang tidak boleh dikurangi oleh negara,” ujarnya dalam sidang.
Selain itu, pemohon juga menilai ketentuan Pasal 164 ayat (1) huruf d dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK yang membatasi pencairan manfaat pensiun maksimal 20 persen sekaligus, bertentangan dengan prinsip perlindungan hak warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan frasa “harus dilakukan secara berkala” dalam Pasal 161 ayat (2) UU P2SK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak dalam program pensiun swasta yang bersifat pelengkap (complement) dapat dilakukan secara berkala atau sekaligus berdasarkan pilihan Peserta, Janda/Duda, atau anak”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.







